Minggu, 08 September 2019

Sejarah Peradaban Islam di Lamongan

Lamongan menyimpan beragam peninggalan sejarah, tak terkecuali sejarah penyebaran Islam. Bahkan, dari sebaran benda-benda sejarah tersebut, Islam di Lamongan sudah jauh ada sebelum masa Walisongo.

Pemerhati budaya dari Lamongan, Supriyo mengatakan, dari jejak sejarah yang ada, Islam di Lamongan lebih tua jika dibandingkan dengan jejak sejarah yang ada di Leran, Gresik, makam Fatimah binti Maimun.

Beberapa jejak sejarah tersebut, kata Priyo, di antaranya kompleks makam Mbah Mbarang yang ada di Desa Pendowo Limo, Kecamatan Karangbinangun. Selain itu, kata Priyo, juga ada kompleks makam Sunan Hisyamudin atau Sunan Deket di Desa/Kecamatan Deket yang juga punya jejak sejarah tua.

"Dari dua kompleks makam ini, jejak sejarahnya terlihat lebih tua, yaitu sekitar abad ke 10 atau 11," kata Priyo. 

Dikatakan oleh Priyo, di Situs Mbah Barang selain ditemukan kompleks makam, juga ditemukan Gentong Batu yang terletak di komplek cungkup makam Mbok Rondo Mbarang. Di sekitar komplek makam dan masjid, lanjut Priyo, setidaknya 3 makam tokoh yang disakralkan, yaitu Makam Mbah Gadung, Kedua adalah Makam Mbok Rondo Barang, dan yang ketiga tanpa cungkup adalah Makam Sayid Wisnu.

Salah satu benda sejarah penyebaran Islam/Salah satu benda bersejarah di Lamongan/Foto: Eko Sudjarwo


"Dari ketiga makam tersebut hanya makam Sayid Wisnu yg masih terlihat kekunoannya yang ditunjukkan dengan keberadaan nisan batu Andesit dengan motif suluran," terang Priyo yang mengungkapkan 2 makam lainnya sudah mengalami pemugaran.

Priyo menuturkan, terkait nisan makam Sayid Wisnu yang terbuat dari bahan batu andesit cukup menarik perhatian mengingat biasanya nisan-nisan makam kuno di Lamongan rata-rata terbuat dari batu kapur. Seperti di komplek makam sunan Drajat maupun Sendang duwur ataupun makam kuno lainnya di Lamongan. Kekunoan lainnya, lanjut Priyo, adalah keberadaan gentong Batu yang biasanya merupakan produk kebudayaan masa Majapahit.

"Hal unik lainnya juga adalah keberadaan kubah masjid yang dihiasi dengan panah kuno yang konon adalah milik dari Mbah Gadung," akunya.

Sebaran bekas keramik yang ada di kompleks makam ini, terang Priyo, juga menunjukkan keramik dari abad 10 atau 11. Saat itu masih masa Majapahit dan jauh sebelum masa Walisongo. Priyo menegaskan, temuan yang sama juga terlihat di makam Sunan Deket, pecahan keramik asing di makam Mbah Hisyamudin dan sebaran reruntuhan batubata kunonya juga padat dan luas.

"Ini menunjukkan kalau sebenarnya Islam sudah berkembang di Lamongan jauh sebelum masa Walisongo," tutur Priyo yang juga menyebut kalau dimungkinkan makam-makam tersebut adalah makam para tokoh penyebar Islam dan pedagang Islam.

Dengan temuan-temuan ini, Priyo berharap agar masyarakat Lamongan lebih bisa menjaga dan merawat benda-benda sejarah tersebut. "Agar jejak-jejak sejarah ini tidak hilang dan kita bisa ikut menikmati sejarah tersebut," katanya.

sumber : https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3696944/ini-jejak-sejarah-peradaban-islam-di-lamongan
Read More

Imam Fadlli : Belajar dari KH. Tholchah Mansur

Oleh  Imam Fadlli

“Cita-cita IPNU adalah membentuk manusia berilmu yang dekat dengan masyarakat, bukan manusia calon kasta elit dalam masyarakat.”

Itulah sepenggal pidato KH Tholhah Mansur dalam Muktamar IV IPNU di Yogyakarta tahun 1961. Dari kalimat pendek tersebut, sangatlah jelas bahwa Pendiri IPNU mempunyai cita-cita sejak awal bahwa kelahiran IPNU pada tanggal 24 Februari 1954 atau bertepatan dengan tangal 20 Jumadil Akhir 1373 H adalah untuk membentuk dan mencetak pelajar dan santri Nahdlatul Ulama yang berilmu yang tidak berlagak elitis dan eksklusif. Berilmu dalam konteks pidato di atas, mempunyai makna yang kompleks, definisi berilmu disini penulis artikan sebagai kapasitas seorang kader yang harus mempunyai ilmu pengetahuan sekaligus kecerdasan. 

Apa maksud dari pengetahuan dan kecerdasan yang penulis maksud adalah, seorang kader IPNU, adalah agen yang harus mempunyai modalitas wawasan (baca: pengetahuan) yang implementatif, ready to use. Sehingga, kecerdasan disini merupakan upaya untuk mempraktekkan segala wawasan yang dimilikianya. Karena, melalui dua modalitas inilah kader-kader IPNU akan menjadi aset transformasi sosial bagi masyarakat yang lebih luas.

Cita-cita ini, tentu dilandasi dengan asas ideologis yang bersumber dari teks al-Quran, sebagaimana yang teruraikan melalui pesan surah al-Mujadalah: 11 yang menegaskan bahwa Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmu pengetahuan) beberapa derajat. Landasan normatif ayat suci inilah yang menjadi pedoman pengembangan pengetahuan sekaligus kecerdasan agar selalu “kehausan” dalam meraup air-air ilmu pengetahun bagi para kader IPNU.

Namun, orientasi keilmuan ini tentu saja bukan dalam rangka mencapai ketinggian derajat semata, karena Kiai Tolchah dalam pidatonya tersebut melakukan taqyid al-makna, yang menegaskan keilmuan tersebut harus dilandasi sikap yang dekat dengan masyarakat. artinya, kader IPNU harus mempunyai karakter, yaitu sikap yang siap sedia kapanpun masyarakat memanggil. Sehingga, sangat absurd jika ada seorang kader IPNU yang tidak dekat dengan masyarakat, merasa terasing dari denyut kehidupan warganya. Dari fenomena ini, maka harus ada yang dibenahi dari internal individual atau pola kaderisasi yang kurang tepat. Karena, sikap elitis inilah yang sangat dikhawatirkan oleh Kiai Tolchah selaku founding fathers IPNU.

Cita dan asa Kiai Tolchah diatas, selanjutnya disimbolisasikan melalui logo IPNU yang sangat sarat makna. Gambar bulu angsa misalnya, dalam logo tersebut dimaknai sebagai spirit keilmuan yang harus tetap dilakukan oleh para kader, kemudian karakter yang istiqomah, berkomitmen dan selalu tuntas dalam setiap kinerja disimbolkan dengan logo IPNU yang berbentuk bulat. 

Kemudian, bintang yang merupakan benda luar angkasa meniscayakan sebuah ketinggian harapan yang harus selalau tergenggam agar kader-kader tidak hanya hidup tanpa adanya cita-cita yang tinggi. Dari sekelumit kode-kode inilah, sebenarnya karakter keilmuan IPNU termanifestasikan dengan baik. Hal ituharus dipahami dan disadari oleh semua elemen pengurus, anggota, dan seluruh kader.

Sebuah kredo yang terkenal di IPNU: belajar, berjuang dan bertaqwa juga menjadi semacam world view yang mendarah daging, untuk terus melakukan kerja-kerja intelektual, sosial dan spiritual secara sekaligus. Selaras dengan makna nahdlah dalam nomenklatur Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan agama dan peradaban secara bersama-sama (nahdlah ad-diniyah wal madaniyah ma’an). Melihat kesinambungan gagasan konseptual serta falsafahnya, maka sangat masuk akal jika pembangunan dan keberlangsungan NahdlatulUlama sebagai garda pembentukan peradaban masyarakat Indonesia, berada dipundak kader-kader IPNU.

Untuk itulah, pembangunan kader-kader IPNU sama halnya dengan membangun NU di masa depan, dan memperhatikan NU sama dengan turut andil dalam membangun generasi bangsa Indonesia yang berkualitas di era yang akan datang.

Penulis adalah Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU 2015-2018.
sumber : https://www.nu.or.id/post/read/75662/belajar-dari-kh-tholhah-mansur-catatan-harlah-ke-63-ipnu
Read More